Rabu, 27 Mei 2009

NEGERI TERTUNDUK

NEGERI TERTUNDUK

      Dari setiap derap langkah yang kita lewati bersama dalam mengarungi samudera kebahagianmaka tugas kita semua sebagai warga berbangsa dan bernegara, baik para pemimpin nonpemerintahan, lokal dan nasional, maupun pemimpin pemirintahan negara harus berusaha dengan kuat, tabah tetapi jujur untuk menyiangi jalan integrasi dan menutup jalan disentigrasi. demi mencapai kebahagian bersama.


    hari-hari ini kita sering mendengar, membaca dan melihat berbagai hal yang berkaitan dengan situasi kritis kita dewasa ini dan tentang ajaran dan sikap diri pemimpin-pemimpin kita. sebagaimana yang telah kita mendengar, membaca dan melihat tentang situasi kritis di Ambon dan Maluku Utara serta Maluku Tenggara. Saling membunuh diantara sesama warga, baik warga yang bertalian darah maupun sesama warga yang sebangsa-negara.

Di Aceh pun hari-hari kemarin kita sering terdengar suara-suara tangis dimana kejadian yang terus berlanjut dengan tindakan-tindakan yang tragis memedihkan, yaitu GAM-nya dibunuh, tetapi polisi, brimob dan TNI juga terbunuh. Saling menghadang karena bergadapan sebagai lawan ideologi dan menjauhkan sikap perasaan saudara sebangsa di antara kedua nelak pihak terus terjadi. 


Disamping itu juga di berbagai tempat di indonesia seperti jawa juga telah terjadi hal sama yaitu terjadi pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dengan alasan melakukan dukun santet, yang dituduh telah melakukan penyetetan terhadap keluarga warga sekampung. Yang tersantet menderita sakit, bahkan ada yang meninggal.

Pembunuhan terhadapo orang yang dituduh melakukan santet itu adalah tindakan yang salah, karena dilakukan diluar aturan wajar atau batas kemanusiaan dan aturan hukum yang berlaku. Di dalam menghadapi situasi krisis-krisis itu, maka tampillah berbagai komentar dari berbagai pihak, termasuk oleh beberapa orang pemimpin kita.

Di dalam usaha kita untuk membangun sidtem kegisupan yang berbangsa-negara yang demokratis, saling ujar dan memberi tanggapan adalah amat wajar. Karena justru saling ujar semacam itu merupakan bagian dari tatanan kehidupan yang demokratis. 


Bagi mereka yang berada didalam peta masyarakat umum, sesuai dengan kedudukan dan pengruhnya didalam masyarakat, harus pula mampu memberikan sumbangan konkritnya untuk keberhasilam dalam menyelesaikan penjelasan tantangan, berdasarkan strategi yang digunakan. 

Sekarang dalam benak kita harus terapkan sebagai mana yang telah termuat dalam pancasila dan UUD 1945 untuk menjaga keestabilan negeri ini, kemudian jangan jadikan perbedaan sebagai suatu penghambat namun jadikanlah perbedaan sebagai penyatu masyarakat, seperti yang tak asing lagi dibisikan telinga kita semua yaitu "BEHINEKA TUNGGAL IKA", berbeda-beda namun  kita satu jua.

Selasa, 26 Mei 2009

BENTENG ORANGE






Catatan


Peninggalan-peninggalan sejarah di Provinsi Maluku Utara, dewasa ini kondisinya semakin memprihatinkan, karena kerusakan alamiah maupun sengaja dirusakkan. Beberapa contoh yang ada didepan mata kita diantaranya Benteng Kastela (Nosra Senhora Del Rosario), Benteng De Varwacthing (Kab. Kepulauan Sula), Benteng Barnaveld (Kab. Halmahera Selatan), Mesjid Sultan Tidore dan sekarang kembali terjadi di Benteng Orange, salah satu benteng yang menjadi aikon Kota Ternate.
Benteng- benteng dan peninggalan sejarah lainnya dipugar tanpa melalui tahapan-tahapan yang sebenarnya yakni (1) Tahap persiapan diantaranya studi kelayakan, studi teknis, studi rencana induk (2) Tahap pelaksanaan pemugaran meliputi pembongkaran, pencarian dan penyusunan percobaan, konservasi, perkuatan konstruksi, pemasangan kembali (3) Tahapan penyelesaian yang meliputi penyempurnaan, pemasangan kembali, pemberian tanda pada bahan pengganti, pembersihan areal pekerjaan dan penataan ulang.
Pemugaran benda-benda bersejarah yang tidak sesuai aturan yang berlaku yang dilaksanakan pemerintah daerah terhadap beberapa benteng tersebut di atas telah dicomplain berkali-kali oleh lembaga-lembaga yang concern terhadap benda cagar budaya, maupun masyarakat. Sayangnya, ini tidak pernah digubris oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pemugaran. Padahal, dengan jelas dan tegas telah dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang pemanfaatannya untuk kepentingan pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Namun hal ini bertolak belakang dengan kondisi yang ada, pemerintah yang seharusnya menjadi lembaga yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan, malah melakukan pengrusakan. Kejahatan terhadap benda cagar budaya dikategorikan menjadi enam diantaranya, pencurian, penyelundupan, penyingkiran, penggusuran, penggalian liar dan perusakan. Yang terjadi pada pemugaran Benteng Orange adalah pemugaran yang asal-asalan.
Pemugaran terhadap Benteng Orange yang sudah berjalan beberapa hari ini sangat memiriskan. Pengerjaan proyek pemugaran ini selain tidak melalui tahapan-tahapan sebagaimana mestinya, juga tidak mengikutsertakan tenaga-tenaga ahli dibidangnya - Arkeologi, Tekno Arkeologi, Antropologi dan Geologi - sehingga pengerjaannya sangat asal-asalan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka Benteng Orange tak ada bedanya dengan bangunan-bangunan modern lainnya yang tidak memiliki makna dan nilai historisnya. Padahal bangunan bersejarah akan sangat menarik karne beda dan unik.

1. BENTENG ORANGE 
Benteng Orange dibangun di atas bekas Benteng Melayu pada tahun 1607 oleh Cornelis Matilief De Jonge (Bangsa Belanda). Kemudian diberi nama oleh Francois Wittert pada tahun 1609. Di benteng ini pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) dan yang menjadi pimpinan saat itu adalah Pieter Boat, Herald Reyest, Laurenz Real dan J.C. Coum. Di benteng ini pula Sultan Muhammad Badaruddin II (Sultan Palembang) yang diasingkan di Ternate pada tahun 1822 hingga meninggal dunia pada tahun 1852. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Pekuburan Islam Kelurahan Santiong Ternate.